oleh : Lu'liyatul Mutmainah dari Bea Mandiri 7
A. PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Dikotomi keilmuwan
yang terjadi di praktek pendidikan sekolah umum, menjadi salah satu penyebab
kemunduran bagi peradaban agama Islam. sebagaimana Faruqi dalam Nata (2003:
151-152) yang di sampaikan oleh Sofyan Sauri dalam jurnalnya “Integrasi IMTAK
dan IMPTEK dalam Pembelajaran” bahwa pendikotomian ini merupakan simbol
kejatuhan umat Islam, karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat
mengungkapkan relevansi Islam dalam ketiga sumbu tauhid. Pertama,
kesatuan pengetahuan; Kedua, kesatuan hidup; Ketiga, kesatuan
sejarah. [1]
Di era globalisasi seperti sekarang ini adalah masa yang paling
tepat untuk memecahkan dikotomi tersebut, karena bagaimanapun nilai-nilai
ajaran Islam jika tidak di integrasikan dengan sistem pendidikan di sekolah
umum akan lebih menghancurkan peradaban umat Islam itu sendiri dan akan
mengakibatkan degradasi moral anak bangsa.
Ketertinggalan
masyarakat Indonesia dengan bangsa lain
tidak terlepas dari persoalan sumber daya manusia yang kurang kompetitif
dan kemunduran peradaban keilmuwan yang berkembang di Indonesia. Cikal bakal
kualitas dari sumber daya manusia itu sendiri dapat dilatar belakangi oleh
pendidikan yang ditempuhnya, jika penduduk Indonesia diberi bekal yang kuat dan
berdaya saing positif dari awal maka hal ini tidak akan terjadi. Fenomena
pendidikan di Indonesia yang masih perlu banyak pembenahan kiranya membutuhkan
hal baru yang dapat dimasukkan kedalam sistem pendidikan di Indonesia terutama
untuk sekolah umum dimana urgensi ajaran agama Islam belum di jadikan perhatian
dan hanya untuk mengisi even-even tertentu saja.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pendidikan
Karakter Islam Profetik
Pendidikan merupakan salah satu unsur yang penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Azyumardi Azra (2008, 35-36) mengaitkan pendidikan dengan budaya
dan agama sebagai kekuatan penanaman nilai bagi peserta didik. Pendidikan
selain sebagai proses transfer keilmuan juga merupakan wadah untuk menanamkan
nilai-nilai keluhuran budi pekerti guna pembudayaan manusia. Ketiga sumber
nilai tersebut juga di dukung oleh Armai Arief (2008, 45-46) dalam membentuk
karakter bangsa. Pendidikan, agama dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat
erat dan mempengaruhi satu sama lain. [2]
Menurut Nurcholis Madjid, istilah pendidikan, yang di dalam al-Qur’an disebut Tarbiyah mengandung arti
penumbuhan atau peningkatan yang meliputi dua segi, yaitu jasmani dan bukan
bersifat jasmani. Makna yang pertama cenderung kepada usaha untuk memberikan
perhatian kepada pertumbuhan seorang anak manusia. Biasanya hal ini dilakukan oleh
seorang Ibu kepada anaknya. Dan, makna yang kedua adalah penumbuhan dan
peningkatan potensi positif seorang anak agar menjadi manusia dengan tingkat
kualitas yang setinggi-tingginya dan mengarahkan anak menjadi baik.[3]
Karakter identik dengan watak atau kepribadian seseorang. Karakter,
secara etimologis (inggris: character) berasal dari bahasa Yunani
(Greek), yaitu charassein yang berarti “
to engrave” (Ryan & Bohlin, 1999:5). Yang berarti mengukir, melukis,
memahatkan, atau menggoreskan (Echols & Shadily, 1995: 214). Sedangkan
dalam Kamus Bahasa Indonesia kata karakter diartikan tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain,
dan watak. Karakter dapat juga berarti huruf, angka, ruang, simbul(sic!)
khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas,
2008: 682). Orang yang berkarakter berarti orang yang berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat atau berwatak.[4]
Sedangkan secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh
Thomas Lickona bahwa karakter adalah “a
reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.”selanjutnya,
Lickona menambahkan, “character so conceived has three interrelated parts:
moral knowing, moral feeling, and moral behavior.” (Lickona, 1991: 51).
Menurutnya, karakter mulia menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral
feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior).
Sehingga, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives),
sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors)
dan keterampilan (skills).[5]
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan
akhlaq yang bersifat universal dan diperoleh secara bertahap dengan proses dan
pengetahuan dari diri manusia.
Pendidikan karakter yang sedang marak digalakkan harus menjadi
gerakan nasional yang menjadikan sekolah sebagai agen pembangunan karakter
siswa melalui pembelajaran dan permodelan. Pendidikan karakter diharapkan tidak
hanya menjadikan siswa tahu mana yang benar dan mana yang salah, tetapi lebih
dari itu pendidikan karakter dapat menanamkan kebiasaan(habitution) tentang
yang baik sehingga siswa paham, mampu merasakan, dan mau melakukan.[6]
Kata profetik
berasal dari kata prophet yang berarti nabi. Kata profetik juga menjadi
icon dalam perjuangan pembebasan yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan
Amerika Latin. Nabi sebagai seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya
dengan tanggung jawab sosial. Nabi Muhammad SAW bekerja kembali dalam lintasan
waktu sejarah, hidup dengan realitas sosial kemanusiaan dan melakukan kegiatan
di kehidupan sosial[7].
Meskipun, beliau telah mendapatkan ketetapan akan syurga yang dapat
digenggamnya. Nabi datang membawa cita-cita dan sebagai revolusioner, itulah
pilar dalam etika profetik.
Pendidikan karakter
Islam profetik ini merupakan hasil dari sebuah kekhawatiran para pakar
pendidikan akan adanya dikotomi keilmuwan dan diharapkan menjadi jawaban atas
ketakutan terhadap sekularisasi, dan menghapus pemahaman bahwa nilai-nilai
tradisional mengakibatkan stagnansi dalam pendidikan Islam di Indonesia.
2.
Metodologi
Pendidikan Islam Profetik
Dalam menerapkan
pendidikan Islam profetik ini membutuhkan suatu metodologi. Metodologi yang
dimaksud adalah integralisasi dan objektifikasi. Dua metodologi ini bukan
berarti sebuah proses islamisasi. Islamisasi lebih cenderung sebagai proses
ekspansi Islam ke wilayah-wilayah lain. Padahal islam itu bersifat menyeluruh,
melengkapi, serta sangat luas dan kaya. Jika Islam melakukan ekspansi lagi maka
hal ini menandakan bahwa islam tidak menyeluruh dan integral.[8]
Menilik sejarah masa lalu saat Islam baru
muncul, istilah ekspansi memang dapat dibenarkan, hal ini karena
wilayah-wilayah ekspansi tersebut belum mengenal Islam dan proses ekspansi
tersebut merupakan usaha dakwah para pendahulu kita. Namun, di zaman sekarang
hampir seluruh pelosok bumi ini sudah mengenal Islam. sehingga, adanya negara Islam
dalam bentuk khilafah dirasa kurang tepat, karena pemerintahan sudah
mencerminkan bentuk yang Islami yang meliputi prinsip kesamaan hak, kemanusian,
musyawarah, dan kebebasan.
Ilmu
pengetahuan tradisional dan modern saat ini tidak layak untuk diperdebatkan
melainkan disatukan, karena keduanya bersumber dan dari nilai yang sama.
sehingga tidak perlu adanya islamisasi, melainkan integralisasi dan
objektifikasi. Pendidikan islam profetik mengarah kepada paradigma
integralisasi, sehingga objektifikasinya kedalam bentuk sistem dan mekanisme
pendidikan islam, yang disampaikan melalui kurikulumnya yang benar-benar sesuai
dengan kebutuhan manusia.[9]
3.
Internalisasi
Dan Objektifikasi[10]
Pendidikan yang
mengintegrasikan antara Islam dan ilmu diharapkan melahirkan pendidikan yang
bermutu perlu diinternalisasikan sekaligus di objektifikasikan. Kaitannya
adalah bahwa objektifikasi harus berangkat dari internalisasi, nilai-nilai Islam
itulah yang diinternalisasikan.
Pendidikan Islam
profetik mensyaratkan adanya objektifikasi, bukan sekularisasi. Objektifikasi
ini menghendaki terhindarnya masyarakat dari dominasi.demikian juga dalam hal
ini mengharapakan ketiadaan dominasi islam terhadap masyarakat, sehingga
masyarakat merasa dibebaskan dan tidak terdoktrin oleh keislaman, melainkan
pendidikan islam profetik ini dapat diterapkan di manapun, kapanpun, oleh dan untuk siapapun serta
bersifat wajar.
Objektifikasi adalah
perbuatan dalam merasionalkan nilai-nilai yang diwujudkan ke dalam perbuatan
yang juga bersifat rasional, sehingga orang lainpun dapat menikmatinya tanpa
harus menyetujui nilai-nilai asalnya. Pendidikan yang membebaskan tersebut adalah
objektifikasi dari ajaran Islam dalam surat Ali Imran: 110.
Pendidikan Islam yang
ada selama ini cenderung mengarah pada islamisasi atau doktrinisasi, sedangkan
pendidikan islam profetik lebih kepada objektifikasinya. Sebagai contoh, ajaran
untuk menyantuni orang miskin dan yatim piatu berlaku baik bagi orang islam
maupun non islam.
4.
Humanisasi,
Liberasi Dan Transendensi[11]
Dalam konsep Kuntowijoyo, ilmu-ilmu
sosial sekarang sedang mengalami kemandekan atau stagnansi. Ilmu-lmu sosial
akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis, fungsinya terbatas pada memberi
penjelasan-penjelasan terhadao gejala-gejala saja. Menurutnya, ini tidak cukup.
Ilmu-ilmu sosial juga perlu memberi petunjuk ke arah transformasi. Disinilah
Kuntowijaya bertolak dari ajaran al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 110, yaitu
petunjuk ke arah tindakan-tindakan emansipasi atau humanisasi, liberasi, dan
transedensi. [12]
Humanisasi
Humanisasi merupakan
implementasi dari konsep amar ma’ruf yaitu asal menganjurkan atau
menegakkan kebaikan. Konsep ini memiliki tujuan meningkatkan dimensi dan
potensi positif manusia, untuk kembali pada petunjuk Nya dan mencapai fitrah.
Fitrah yakni kedudukan manusia sebagai makhluq yang sempurna atau memanusiakan
manusia, artinya menghilangkan kebendaan, ketergantungan dan kekerasan serta
kebencian dari manusia. Humanisme disini adalah humanisme teosentris bukan
atroposentris. Konsep humanisme tidak dapat dipahami tanpa konsep trasendensi
yang menjadi dasarnya.
Konsep humanisme atroposentris
yang berawal dari pemberontakan terhadap gereja telah jatuh menjadi
dehumanisasi. Sedangkan humanisme teosentri
Kunto berangkat dari konsen iman dan amal sholeh, yang dapat mengelakan
terjadinya dehumanisasi.
Liberasi
Liberasi merupakan terjemahan dari nahi
munkar yang berarti melarang atau mencegah segala tindakan kejahatan yang
merusak. Liberasi ini memiliki arti pembebasan terhadap yang termarjinalkan.
Dalam konteks profetik, liberasi menjadikan agama sebagai nilai-nilai
transedental yang menjadi alat transformasi sosial sehingga agama menjadi ilmu
yang objektif dan faktual.
Transedensi
Transedensi
merupakan terjemahan dari tu’minuna bi Allah yang artinya beriman kepada
Allah. gagasan inilah yang menjiwai sehingga dalam proses humanisasi dan
liberasi dibelenggu transedensi. Transedensi merupakan respon terhadap ilmu
sosial yang selama ini bercorak positivistik menafikkan hal yang berkaitan
dengan agama. Dengan kritik transedensi
kemajuan teknik dapat untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusaiaan
buka kesadaran materialistik. Transedensi in merupakan penerapan yang baru
dalam ilmu sosial, dan menjadikan ilmu sosial itu bercorak agamis dan sesuai
dengan nilai qurani.
C.
PENUTUP
Penyatuan
antara ilmu umum dan agama serta pendidikan karakter profetik ini merupakan
sebuah konsep integrasi dan interkoneksi yang telah diakui validitasnya dan
sedang dikembangkan di hampir seluruh dunia termasuk Indonesia dalam rangka
mengembalikan urgensi dari pendidikan yaitu tidak hanya untuk mengetahu suatu
nilai kebenaran tetapi juga menjadikan kebiasaan atas sesuatu yang baik dalam
kehidupan bermasyarakat.
Sebagaimana pandangan
Soewardi (2001: 1-24) bahwa abad ini adalah momentum menuju lahirnya sains
tauhidillah atau sains islami yang merupakan alternatif terhadap sains barat
sekuler (SBS) yang hampir kandas. Sebagaimana dalam konteks pembelajaran
ekonomi, bahwa integrasi antar pembelajaran ekonomi dengan nilai-nilai
ketauhidanlah yang menjadi solusi atas krisi global yang terjadi akibat
perkembangan SBS yang telah melahirkan resah, renggut, dan rusak (3R). [13]
Pendidikan Islam
profetik diharapkan menjadi sesuatu yang wajar dan diterima umum di masyarakat
tanpa memandang kelas, agama, negara atau apapun. Karena sejatinya semua sumber
ilmu pengetahuan adalah sama yakni al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
dan beliau adalah implementasi yang paling sempurna dari isi kandungan Alqur’an
itu sendiri. Isi kandungan al-Qur’an ini memerlukan kajian yang dilakukan terus
menerus dengan berlandaskan keimanan dan ketaqwaan sebagaimana yang dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW.
Implementasi dari pendidikan yang berkarakter profetik
seperti yang diharapkan semua pihak dapat benar-benar tercipta sesuai dengan
kandungan Surat Ali Imran ayat 110 dan juga amanah
UU No 20 Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan tidak hanya membentuk
insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter,
sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan
karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
DAFTAR PUSTAKA
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195604201983011-
SOFYAN_SAURI/makalah2/INTEGRASI_IMTAK_DAN_IMPTEK_DALAM_PEMBELAJARAN.pdf di akses pada hari Sabtu 25 Mei 2013 pukul 6.12 WIB
Marzuki,Integrasi pendidikan
karakter dalam pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama,Makalah disampaikan
dalam seminar Pendidikan Karakter dengan tema: internalisasi pendidikan
karakter melalui proses pembelajaran dalam rangka mewujudkan generasi yang
bernurani, cendekia, dan mandiri, di SMP N 5 Wates pada hari Senin, 25 Juli
2011.
http://imanilmuamal82.wordpress.com/2010/09/13/pendidikan-islam-profetik-integrasi-islam-dan-ilmu-menuju-pendidikan-yang-humanis-liberatif-dan-transendentif/ diakses pada hari Jumat 24 Mei 2013 pukul 11.57 WIB
http://imanilmuamal82.wordpress.com/2010/09/13/pendidikan-islam-profetik-integrasi-islam-dan-ilmu-menuju-pendidikan-yang-humanis-liberatif-dan-transendentif/ diakses pada hari tanggal Jumat 24 Mei 2013 pukul 11.57 WIB
http://cerdasaisyah.blogspot.com/2012/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html di akses pada hari Jumat
tanggal 24 Mei 2013 pukul 12.07 WIB
http://sekolahtrotoar.blogspot.com/2012/08/menggagaspendidikan-profetik.html di akses pada hari Sabtu tanggal 25 Mei
2013pukul 06.25 WIB
http://sekolahtrotoar.blogspot.com/2012/08/menggagaspendidikan-profetik.html
diakses pada tanggal hari Sabtu 25 Mei 2013 pukul 06.25 WIB
Kuntowijoyo. 2008. Paradigma
Islam Interpretasi Untuk Aksi. Jakarta: Mizan
[1] http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195604201983011-SOFYAN_SAURI/makalah2/INTEGRASI_IMTAK_DAN_IMPTEK_DALAM_PEMBELAJARAN.pdf di akses pada hari Sabtu 25 Mei 2013 pukul 6.12 WIB
[2] http://cerdasaisyah.blogspot.com/2012/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html di akses pada
hari Jumat tanggal 24 Mei 2013 pukul
12.07 WIB
[3] http://imanilmuamal82.wordpress.com/2010/09/13/pendidikan-islam-profetik-integrasi-islam-dan-ilmu-menuju-pendidikan-yang-humanis-liberatif-dan-transendentif/ diakses pada hari Jumat 24 Mei 2013 pukul 11.57 WIB
[4] Marzuki,
Integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama,
Makalah disampaikan dalam seminar Pendidikan Karakter dengan tema:
internalisasi pendidikan karakter melalui proses pembelajaran dalam rangka
mewujudkan generasi yang bernurani, cendekia, dan mandiri, di SMP N 5 Wates
pada hari Senin, 25 Juli 2011.
[5] Ibid
[6] ibid
[7] http://sekolahtrotoar.blogspot.com/2012/08/menggagaspendidikan-profetik.html di akses pada hari Sabtu tanggal 25 Mei
2013pukul 06.25 WIB
[8] http://imanilmuamal82.wordpress.com/2010/09/13/pendidikan-islam-profetik-integrasi-islam-dan-ilmu-menuju-pendidikan-yang-humanis-liberatif-dan-transendentif/ diakses pada hari Jumat tanggal
24 Mei 2013 pukul 11.57 wib
[9] Ibid
[11]
http://sekolahtrotoar.blogspot.com/2012/08/menggagaspendidikan-profetik.html
diakses pada hari Sabtu tanggal 25 Mei 2013 pukul 06.25 WIB
[13] http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195604201983011-SOFYAN_SAURI/makalah2/INTEGRASI_IMTAK_DAN_IMPTEK_DALAM_PEMBELAJARAN.pdf di akses pada hari Sabtu 25 Mei 2013 pukul 6.12 WIB

Tidak ada komentar: